Penulis : Annisa Nur Aziza & Imaduddin Hamzah
Sumatera Selatan, journalasia1922.com — Untuk membangun bangsa yang besar, diperlukan orang-orang yang cerdas dengan akhlak yang baik. Tentunya untuk mencapai hal tersebut, pendidikan dan perilaku yang baik harus diterapkan kepada anak bangsa sejak dini.
Anak merupakan salah satu sumber daya bagi kemajuan bangsa. Perkembangan zaman menurunkan cara berpikir dan kebiasaan anak terhadap orang tua dan lingkungan. Saat ini sangat sedikit anak-anak yang melakukan kejahatan. Meningkatnya kenakalan remaja setiap tahunnya disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor penyebab kenakalan remaja yang menyebabkan anak teraniaya dan akhirnya berhadapan dengan hukum adalah kurangnya perhatian orang tua, keadaan yang memaksa anak untuk mencari nafkah, atau bahkan pencarian jati diri.
Beberapa faktor yang menyebabkan kenakalan pada anak tersebut seringkali menyebabkan mereka jatuh terlalu jauh. Kurangnya peringatan atau tindakan tegas terhadap anak yang terlibat kejahatan mengakibatkan anak semakin terlibat dalam kejahatan.
Hal-hal seperti itu dapat meningkatkan keberanian anak untuk melakukan kejahatan yang kemudian berujung pada pidana. Meningkatnya prevalensi kekerasan terhadap anak merupakan hal yang menyedihkan, karena anak adalah generasi yang harus dilindungi dan bagian dari pendukung suatu bangsa yang dapat mencerdaskan bangsa tersebut. Saat ini, perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia terkait dengan UU SPPA. Sebelumnya dia merujuk pada Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang saat ini sudah tidak berlaku lagi, kemudian UU No 3 Tahun 1997.
UU SPPA antara lain membahas terkait penempatan anak yang diadili di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Isi paling mendasar dari undang-undang ini adalah aturan ketat tentang keadilan restoratif, yang bertujuan agar anak tetap terpisah dari proses peradilan, sehingga dapat terhindar dari stigmatisasi terhadap anak liar dan harapan agar anak dapat kembali ke lingkungan sosial secara normal. Menurut Pasal 7 UU SPPA disebutkan bahwa terjemahan tersebut dapat diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana ke proses di luar sistem peradilan pidana. Menurut penjelasan umum UU SPPA, Keadilan Restoratif adalah suatu proses sirkuler dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu menyelesaikan masalah secara bersama-sama dan menciptakan komitmen untuk memperbaiki hal-hal yang melibatkan korban, anak dan tokoh masyarakat. Carilah solusi untuk penyembuhan, rekonsiliasi, dan kepastian yang tidak didasarkan pada pembalasan atau pencegahan. Keadilan Restoratif dan Rekreasi adalah perbedaan utama antara UU SPPA dengan UU No 3 Tahun 2007.
Mempertimbangkan konsep desentralisasi, diketahui bahwa setiap kasus yang melibatkan anak di luar nikah harus terlebih dahulu diselesaikan melalui prosedur di luar pengadilan. Disini peran tokoh lingkungan dan agama memang dapat berperan dalam penyelesaian kasus kenakalan anak, yang dapat dilakukan sesuai dengan nilai agama dan lokal setempat. Praktik tradisional dipandang sebagai nilai positif dalam menyelesaikan kasus anak secara bermartabat, dan dapat memuaskan pelaku, korban, dan orang-orang di sekitarnya.
Kasus-kasus perbuatan melawan hukum anak di bawah umur yang berkembang dan menunjukkan adanya cacat dalam proses tumbuh kembang anak. Menurut Pasal 3 UU SPPA, anak yang melanggar hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum genap 18 (delapan belas) tahun, dan diduga melakukan tindak pidana. Menurut Pasal 1 Ayat 2 UU SPPA, anak berhadapan dengan hukum berarti anak pelanggar hukum, anak korban kejahatan, dan/atau anak yang menyaksikan suatu kejahatan.
Perlindungan saksi anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menunjukkan pentingnya perlindungan anak, adanya ketentuan rekam elektronik merupakan layanan saksi untuk mengurangi rasa trauma anak agar tidak berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan. Artinya, anak lebih bebas dan luwes sebagai saksi ketika memberikan keterangan, didampingi oleh orang tua/wali, pekerja sosial dan Pendamping Sosial (PK) anak, sehingga dapat tercipta fakta hukum berdasarkan peristiwa yang dilihat atau diketahui dari anak itu sendiri.
Anak-anak yang pernah bermasalah dengan hukum, baik anak pelaku, saksi maupun korban, seringkali mengalami tekanan fisik dan emosional yang membutuhkan waktu lama untuk pulih. Karena penderitaan anak pelanggar hukum terkadang tidak mudah dan membutuhkan pemulihan yang lama, maka negara memberikan perlindungan korban yang diimplementasikan sebagai produk hukum untuk memajukan kepentingan anak dalam peraturan perundang-undangan. Untuk melindungi anak yang berkonflik dengan hukum, baik masyarakat maupun pemerintah mengambil langkah-langkah preventif dan represif (melalui penegakan hukum) sebagai alat penting untuk melindungi dan mengimbangi hak asasi manusia.
Perlindungan hukum terhadap anak yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang adil berdampak positif terhadap penanganan perkara anak. UU SPPA secara tegas membedakan dan mengatur anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban tindak pidana, anak saksi tindak pidana.
Sangat informatif senior
Siap