HAKIKAT ILMU SETIA HATI

Journalasia.com  -Sebagai kawula muda di Jawa Timur, terlebih lagi di kawasan eks karesidenan Madiun, jika tidak sempat nyantrik ilmu pada perguruan pencak silat beraliran Setia Hati, mungkin adalah sebuah kerugian yang besar.

Tetapi ternyata ada sebuah kerugian yang lebih besar lagi, yang lebih teramat maha cilaka.
Yakni manakala seseorang yang telah “sah” menjadi “kadhang SH’’, tetapi sama sekali tidak memahami tujuan dan sasaran dari SH itu sendiri.

Bacaan Lainnya

Sehingga masuk SH bukan malah menjadi pribadi yang santun dan ‘semanak’ pada masyarakat luas, tetapi malah menjadi arogan dan ‘ita itu’ menonjolkan ke-aku-an, bahkan juga terhadap sesama saudara SH sendiri.

Sasaran dan tujuan SH yang ‘’ber-amar ma’ruf nahi munkar’’ atau dalam bahasa lain ‘’mendidik manusia berbudi luhur yang tahu benar dan salah’’, seakan visi misi yang sebegitu luhur itu menjadi kabur dan hancur ditelan angin.

SH pada dasarnya memang sebuah perguruan pencak silat yang sama saja dengan perguruan pencak silat lain yang juga mengajarkan tendangan, pukulan, permainan senjata, pernafasan, dan lain sebagainya.

Tetapi SH bukan perguruan yang hanya berhenti pada olah keprajuritan “ragawi” pencak silat semata, SH sejatinya lebih pada pendidikan “rohani” (Tassawuf) yang dikemas dengan kemasan seni bela diri pencak silat.

Seperti halnya Kanjeng Sunan Kalijaga yang mengajarkan kerohanian Tassawuf dengan kemasan seni wayang dan syair-syair tembang Jawa, sama halnya dengan Sulthona Muhibbin Jalaluddin Rumi yang mengajarkan kerohanian Tassawuf dengan kemasan puisi-puisi mistik dan tarian sufinya yang estetik itu, atau juga sama halnya dengan Bhikshu Agung Bodhidharma yang mengajarkan olah rohani (Zen Buddhisme) dengan kemasan seni beladiri kung-funya di daratan China.

Nah, SH (Setia-Hati) yang diciptakan Muhammad Masdan (Ki Ngabehi Surodiwiryo) pada tahun 1903 ini sejatinya lebih dekat pada pendekatan pendiri kung-fu Bodhidharma (Dharma Taishi) yang juga mengajarkan olah kerohanian/spiritualitas dengan kemasan seni beladiri.

Ki Ngabehi Surodiwiryo sendiri, jauh sebelum mendirikan SH adalah seorang santri dari Pondok Pesantren Keras Cukir Jombang yang berkelana belajar seni bela diri pencak silat dan olah kerohanian (Tassawuf) dari berbagai guru dan pendekar sufi di Jawa hingga Aceh dan Sumatera. Bahkan waktu di Sumatera juga belajar kerohanian (Advaita Vedanta) pada guru rohani Hindu yang bernama I Gusti Nyoman Gempol, dan menemukan titik temu dengan ajaran Tassawuf dari Tarekat Syatariah yang sebelumnya telah diterima.

Jadi semestinya tidak aneh kenapa Ki Ngabehi Surodiwiryo menamai perguruannya dengan nama Setia Hati, “Hati” sendiri adalah sesuatu yang ‘misteri’ dan ‘dalam’ daripada sekadar penampakan ragawi/fisik, maka kiranya sudah sangat jelas jika orientasi/sasaran perguruan ini kental dengan ajaran kerohanian yang sangat mendalam.

Dari sini seharusnya dapat diambil kesimpulan, sehebat dan sekeramat apapun jurus pencak SH sejatinya hanya media (washilah) mengajarkan ilmu rohani (akhlak/budi pekerti) dengan bingkai seni beladiri dan simbol-simbol jurus pencak silat. Tentu semua itu dengan maksud agar lebih menarik bagi jiwa-jiwa kanoman (muda) dan agar tidak terasa ajaran kasepuhan (tua) tersebut dididikkan.

Tetapi meskipun demikian, permainan pencak silat dalam SH pun juga harus dipelajari dan dilatih dengan sungguh-sungguh. Karena bagaimanapun SH menganut prinsip “Gerak Lahir Luluh Oleh Gerak Batin, Gerak Batin Tercermin Oleh Gerak Lahir” dan juga menganut falsafah “Lahir Silat Mencari Kawan, Batin Silat Mencari Tuhan”, sama seperti dalam lambang SH, antara huruf “S” dan “H” yang “manunggal” saling berkaitan, begitupun ilmu lahir dan ilmu batin di dalam SH juga harus manunggal saling berkaitan.

Inilah sedikit gambaran hakikat ilmu Setia-Hati itu. Sungguh akan sangat “menghina” Eyang Suro manakala keluhuran SH hanya dipatrikan di dalam kaos-kaos, panji-panji yang berkibar, tugu-tugu yang megah, tapi sama sekali tidak dipatrikan di dalam “hati” yang akan menghasilkan sebuah keluhuran budi dan pengenalan pada Gusti, Sang Sangkan Paraning Dumadi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *