Penulis: Romlan
Wakil Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Journalasia1922.com – Walaupun bukan fenomena baru, wartawan yang merangkap pengurus atau anggota lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya, baru-baru ini sedang menjadi bahan diskusi dan pembicaraan publik di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Lantaran ulah oknum itu sudah sangat meresahkan, sehingga memicu warga dari Kecamatan Jebus dan Parit Tiga, Kabupaten Bangka Barat, menggelar rapat akbar pada hari Jumat lalu sebagai upaya perlawanan terhadap perbuatan para oknum double job tersebut.
Informasi yang dihimpun penulis dari berbagai sumber, keresahan masyarakat itu sudah mencapai puncaknya. Pasalnya, ulah oknum wartawan yang merangkap sebagai pengurus atau anggota lembaga swadaya masyarakat itu diduga sudah bertindak di luar batas kewenangannya.
Jika tidak segera disadari dan diantisipasi, keresahan masyarakat itu dikhawatirkan akan berujung pada perbuatan anarkis, main hakim sendiri, atau tindakan lain di luar dugaan kita semua.
Secara aturan formal memang tidak ada larangan bagi warga negara Indonesia, ketika mau jadi wartawan merangkap sebagai anggota lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya.
Bahkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan kebebasan bagi setiap warga negara Indonesia untuk berserikat dan berkumpul, juga bebas menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan.
Namun ketika yang bersangkutan berbicara sebagai pengurus atau anggota lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya, maka sebaiknya melepaskan status kewartawanannya.
Begitu juga ketika melakukan kegiatan jurnalistik, maka harus melepaskan segala urusan dan kepentingan organisasi apapun yang melekat padanya.
Karena melekat pada diri satu orang, menentukan pilihan itu memang sulit, tetapi tetap harus ada pilihan.
Mengutip pernyataan Hendri Chairudin Bangun sewaktu masih menjabat sebagai Wakil ketua Dewan Pers, seorang wartawan harus melepas statusnya sebagai wartawan jika ingin menjadi anggota ormas ataupun lembaga swadaya masyarakat. ( https://www.jambiekspose.net/2020/10/dewan-pers-wartawan-tidak-boleh-sebagai.html )
Dijelaskannya, bahwa seorang wartawan bukan tidak boleh menjadi anggota LSM, namun seorang wartawan harus melepaskan statusnya sebagai wartawan jika ingin menjadi anggota Ormas ataupun LSM, apalagi sampai memberikan statemen di sebuah media.
Penulis sependapat dengan yang disampaikan oleh Hendri Chairudin Bangun tersebut.
Maka penting bagi wartawan memahami standar kerja jurnalistik beserta seluruh aturan dan etika jurnalistik. Selain itu, wartawan harus memahami perbedaan antara berita dengan opini, juga tentang syarat berita layak siar.
Produk jurnalistik yang merupakan karya jurnalistik adalah hasil liputan wartawan berupa berita atau informasi dalam bentuk tulisan, grafik, gambar, suara, atau gambar dan suara yang disiarkan melalui media massa cetak atau elektronik atau saluran lainnya yang tersedia.
Produk jurnalistik yang bukan karya jurnalistik seperti siaran pers atau press release dari pihak tertentu yang berkepentingan, yang diterima wartawan atau redaksi media massa.
Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan penting bagi publik.
Opini adalah sikap, pendapat, ide atau pikiran untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideologi, akan tetapi bersifat tidak objektif.
Berita layak siar adalah berita yang memenuhi syarat untuk dipublikasikan. Menurut pendapat penulis, beberapa syarat berita layak siar adalah sebagai berikut:
1. Sesuai fakta dan hati nurani;
2. Narasumbernya jelas (kecuali yang diatur dalam UU Pers dan KEJ);
3. Semua pihak terkait terkonfirmasi (cover allside);
4. Memenuhi unsur kaidah jurnalistik (5W 1H + 1 S);
5. Konsisten menggunakan bahasa (tulis / tutur)
6. Aktual;
7. Ekslusif;
8. Penting;
9. Menarik;
10. Mendidik;
11. Menghibur;
12. Tidak ada pihak yang dirugikan.
Fenomena lainnya, ternyata di antara oknum wartawan yang merangkap sebagai pengurus lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya itu, juga merupakan pemilik atau pengelola media siber atau media daring, yang lazim disebut media online.
Dalam berita yang dibuatnya, dia juga menjadi narasumber sebagai pengurus atau anggota lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya. Sehingga berita yang dihasilkan cenderung tidak objektif, karena mencampurkan fakta dan opini.
Kondisi itu membuat mereka semakin leluasa memuat berita yang merugikan orang lain, atau mencabut berita sudah dimuat setelah mendapatkan yang mereka inginkan dari targetnya.
Seperti dijelaskan di atas, wartawan yang merangkap sebagai pengurus atau anggota lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya, sebaiknya tidak menjadi narasumber pada berita yang dibuatnya sendiri, lalu dimuat pada media miliknya atau media yang dikelolanya sendiri.
Jika berbicara dengan kapasitas sebagai pengurus atau anggota lembaga swadaya masyarakat, lalu ingin menyampaikan hasil temuannya di lapangan kepada publik, maka yang bersangkutan boleh menjadi narasumber pada berita yang dimuat di media lain.
Atau boleh juga membuat siaran pers secara tertulis atas nama lembaga atau organisasinya, kemudian dikirim kepada rekan-rekan wartawan atau redaksi media lain yang bukan miliknya atau yang tidak dikelolanya sendiri.
Wartawan atau redaksi media yang menerima siaran pers itu, wajib melakukan wawancara atau konfirmasi lagi kepada pihak lain yang terkait dalam isi berita dalam siaran pers yang diterimanya tersebut.
Membuat berita yang tidak sesuai fakta atau merugikan pihak lain, jelas itu melanggar kode etik jurnalistik. Apalagi sampai melakukan pemerasan, maka sanksi pidana dapat dikenakan.
Kalau ternyata media yang digunakan tidak berbadan hukum perusahaan pers, maka pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dapat juga dikenakan.
Oleh karena itu dalam berbagai kesempatan penulis selalu mengingatkan rekan-rekan wartawan khususnya anggota Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi kepulauan Bangka Belitung, agar selalu mentaati Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik, juga aturan lainnya yang berkaitan dengan pers.
Mengutip dari senior Kamsul Hasan, saat menjadi mentor kami ketika mengikuti Training of Trainer Asessor Persatuan Wartawan Indonesia di Jakarta pada Februari 2019, bahwa setiap pelanggaran apapun pasti ada sanksinya.
Melanggar kode etik jurnalistik saja ada sanksinya, apalagi melanggar undang-undang? Tidak ada seorang pun yang kebal hukum, dan semua orang diberlakukan sama di hadapan hukum.
Sungailiat, 14 Mei 2023