Oleh : H. Johan Muhammad Nasir (Ketua DMI Pangkalpinang)
Apabila kita pahami lebih lanjut secara keadaan yang sebenarnya kata moderasi berasal dari bahasa latin “Moderatio” berarti ke-sedang-an, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moderasi mengandung arti “pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstriman”.
Itu sebabnya, seorang dikatakan moderat kalau bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrim dan berada di tengah-tengah.
Berbeda dalam bahasa Arab. Moderasi dikenal dengan kata “wasath” atau “wasathiyah” yang berpadanan makna dengan kata “tawassuth”. Karena itu orang yang moderat disebut dengan”wasith”.
Dalam bahasa Indonesia kata “wasith” memiliki tiga pengertian, yaitu “penengah”, “pelerai” dan “pemimpin”. Seorang dikatakan moderat kalau bersikap selaku penengah, pelerai dan pemimpin dalam kehidupan bersama.
Antonim dari wasath adalah “tatharruf”yang dalam bahasa Inggris setara dengan “extreme”, “radical”dan “excessive”, di mana dalam KBBI ekstrim didefinisikan sebagai paling ujung, paling tinggi dan paling keras.
Dalam konteks agama dan hidup keagamaan, pengertian kata ekstrim merujuk pada orang yang bersikap melebih-lebihkan praksis kehidupan beragama yang melebihi batas dan ketentuan hukum (syariat) agama.
Kita tahu, agama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari “a” berarti “tidak”dan “gama” berarti “kacau”. Maka, agama berarti tradisi atau cara hidup yang tidak kacau.
Istilah lain yang memiliki makna yang identik adalah “religi”, berasal dari bahasa latin “religio” berakar pada kata kerja “re-ligare” berarti mengikat kembali. Jadi agama berarti ber-religi, dimana seseorang mengikat kembali dirinya kepada Allah menurut tradisi atau cara hidup yang teratur atau tidak kacau.
Bertolak dari arti etimologi moderasi dan agama di atas moderasi beragama dapat diartikan sebagai cara pandang, sikap dan perilaku yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah yakni cara hidup bertindak adil dan tidak ekstrim kiri atau ekstrim kanan.
Moderasi beragama dipahami sebagai sikap berimbang antara pengamalan ajaran agama sendiri (eksklusif) dengan penghormatan kepada praktik beragama orang lain (inklusif) yang berbeda keyakinan.
Tak hanya itu, moderasi beragama adalah cara hidup keagamaan yang moderat dalam pemikirankeagamaan, gerakan keagamaan, tradisi dan praktik keagamaan menurut tradisi dan ajaran keagamaan.
Dengan kata lain, bahwa beragama secara moderat adalah cara hidup umat beragama yang lebih mengutamakan jalan tengah, atau bersikap seimbang antara: akal dan wahyu, jasmani dan rohani, kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara gagasan ideal dan kenyataan yang kontekstual.
Seorang yang beragama secara moderat selalu mengandalkan Tuhan dan tidak pernah mengklaim bahwa Tuhan sudah mati ! (tuhan adalah kuasa, uang, kesenangan dan popularitas diri). Moderasi beragama juga berarti bersikap mencintai semua agama Allah tetapi tetap jatuh cinta terhadap agama sendiri.
Dalam al-Qur’an dinyatakan:
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109]: 6).
Beragama secara moderat bertumbuh dari iman yang mendalam untuk menghargai sesuatu yang berbeda menurut tradisi dan praktik keagamaan masing-masing. Orang beragama adalah orang yang selalu mengikatkan diri kepada Allah sehingga selalu bersikap toleran, mengutamakan damai, persatuan dan solidaritas dalam kehidupan bersama.
Dalam hal ini, dipercayai bahwa Allah hadir dalam beragam suku, adat budaya dan ekspresi kepercayaan lain, atau perbedaanmazhab dan aliran didalam satu agama.Pemikiran inklusif bukan berarti bebas atau tidak berpendirian, namun lebih pada cara hidup menerima kenyataan bahwa ada kebenaran lain yang diyakini oleh komunitas agama tertentu.
Seorang yang moderat melaksanakan kewajiban agamanya tidak boleh bertentangan dengan hukum atau peraturan pemerintah yang melindungi kepentingan publik. Sebab, semua agama adalah agama Allah (yang bersumberdari wahyu Allah, berpusat pada Allah) mengajarkan penghargaan terhadap kepentingan bersama.
Tiga pilar prinsip moderasi beragama Prinsip-prinsip moderasi beragama selalu menjaga keadilan dan keseimbangan berelasi dalam kehidupan sosial.
Selalu menjaga keadilan berarti cara hidup memberikan apa yang menjadi hak orang lain. Maka, bersikap moderat selalu dalam arti memiliki sikap hati yang menjamin kenyamanan bagi orang lain untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan.
Lebih dari itu, selalu menjaga keseimbangan berarti tidak boleh bersikap melebih-lebihkan atau ekstrim kanan (terlalu menekankan kebebasan yang liberal dalam beragama), sekaligus tidak boleh ekstrim kiri (terlalu fanatik dan radikal dalam beragama, serta tidak boleh terlalu menekankan makna tekstual tanpa menghubungkan dengan konteks yang sedang dihidupi).
Prof. Quraish Shihab mengatakan, bahwa penerapan prinsip moderasi beragama mempunyai tiga pilar penting: pilar keadilan, pilar keseimbangan dan pilar toleransi. Pilar keadilan merujuk pada persamaan hak dan kewajiban, tidak boleh menggunakan “standar ganda”, tidak mengurangi dan tidak juga melebih-lebihkan.
Pilar keseimbangan berarti cara hidup yang mengutamakan aspek penyesuaian dengan peruntukan. Misalnya, jalan raya atau pasar tidak boleh dipakai umat untuk beribadat. Keseimbangan terkadang tidak harus menuntut persamaan tetapi menghargai dan memperkaya perbedaan. Pilar toleransi adalah cara hidup toleran yaitu membiarkan orang beribadah menurut keyakinannya.
Lalu apa indikator pencapaian moderasi beragama? Adalah cara hidup yang selalu membuka diri (inklusif), melebur, terserap, beradaptasi dengan berbagai komunitas agama menurut kesepakatan demi keadaban bersama. Indikator ini dipertegas dalam bentuk komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Komitmen kebangsaan berarti ketaatan dan kesetiaan kepada NKRI, Pancasila dan UUD 1945 sebagai wujud pengamalan ajaran agama atau ungkapan iman.
Toleransi adalah sikap memberi ruang secara aktif dan tidak mengganggu hak orang lain dalam menjalankan keyakinan meskipun keyakinan tersebut berbeda. Orang moderat beragama selalu bersikap lapang dada menerima setiap perbedaan. Anti-kekerasan atau bersikap tidak fanatik sekaligus tidak radikal sempit.
Bahkan, orang moderat patuh terhadap hukum sebagai panglima tertinggi negara dan menghormati mekanismenya. Akomodatif terhadap budaya lokal: bersikap ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal. Orang yang moderat beragama menghormati kemajemukan menurut tradisi dan ajaran agamanya agar iman semakin bertumbuh. Iman adalah karunia Allah yang bersifat pribadi sekaligus komunal. Ia justru lebih berakar dalam kebudayaan.
Catatan akhir
Hal lain yang penting untuk diungkapkan adalah, bahwa moderasi beragama merupakan cara beragama yang lebih menekankan nilai-nilai universal (nilai kemanusian yang adil dan berada) untuk diterapkan dalam kehidupan bersama. Itu berarti, moderasi beragama lebih mendorong para penganutnya untuk membangun jembatan kasih ketimbang membangun tembok perselisihan satu dengan yang lain.
“Barangsiapa membangun tembok maka ia sendiri akan terkurung dalam tembok itu. Barangsiapa membangun jembatan, akan membuka jalan untuk sebuah perjalanan panjang, yang bermuara pada komitmen untuk menjadi Pelopor Moderasi Beragama.” Demikian kata Paus Fransiskus I dalam kesempatan penandatanganan Dokumen Abu Dhabi antara Sri Paus Fransiskus I dan Imam besar al-Azhar, Ahmed al-Tayyed pada tahun 2019.
Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang majemuk yang memiliki beragam agama dan kebudayaan. Tentu saja, hal ini menjadi kekayaan alamiah, yang memungkinkan seseorang untuk saling menghargai dan saling melengkapi satu terhadap yang lainnya. Moderasi beragama dapat menjadi kata kunci dalam membangun kebersamaan hidup di tengah pluralisme kehidupan. Ia tidak hanya sekedar kewajiban dijalankan, melainkan lebih pada kebutuhan untuk diimplementasikan dalam kehidupan beragama yang lebih baik.
Moderasi beragama harus dipahami sebagai komitmen bersama di dalam menjaga keseimbangan yang hakiki, di mana setiap warga masyarakat yang beraneka ragam agama, suku, etnis dan budaya harus saling menghargai, mendengarkan dan juga saling belajar guna meminimalisir perbedaan untuk menciptakan rasa kebersamaan dalam keberagaman, kemajemukan agama di Indonesia secara de facto tak boleh dipaksakan menjadi sesuatu yang uniform, melainkan harus dipelihara dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Mengapa demikian? Karena kehadiran agama-agama di Indonesia dapat meneguhkan iman para penganutnya agar saling membelajarkan nilai-nilai positif keagamaannya. Hingga pada akhirnya tumbuhlah sikap militansi keimanannya di dalam membangun kebersamaan hidup. Wallahu a’lam bisshawaab.