Oleh: H. Johan Muhammad Nasir, M.Pd (Kepala SMK Negeri 1 Pangkalpinang)
Kini kita tengah berada di bulan Syawwal. Ramadhan meninggalkan kita. Tidak ada kepastian apakah di tahun mendatang kita masih bisa berjumpa dengannya, menggapai keutamaan-keutamaannya, memenuhi nuansa ibadah yang dibawanya, ataukah justru Allah SWT telah memanggil kita. Kita juga tidak pernah tahu dan tidak pernah mendapat kepastian apakah ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT atau tidak. Dua hal yang belum pasti inilah yang membuat sebagian besar ulama terdahulu berdoa selama enam bulan sejak Syawwal hingga Rabiul Awal agar ibadahnya selama bulan Ramadan diterima, lalu dari Rabiul Awwal hingga Sya’ban berdoa agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Secara etimologi, arti kata ‘Syawwal’ adalah peningkatan. Hal itu merupakan target ibadah puasa. Pasca Ramadhan, diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat ketakwaan, seorang muslim yang terlahir kembali seperti kertas yang masih bersih. Sehingga di bulan Syawwal ini kualitas keimanannya mengalami peningkatan. Tidak hanya kualitas ibadah tetapi juga kualitas pribadinya, yang selama di bulan Ramadan dilatih secara lahir batin. Tentunya kita tidak ingin ibadah yang kita lakukan dengan susah payah di bulan suci tidak membuahkan apa-apa yang bermanfaat untuk diri kita. Kita semua mengharapkan adanya perubahan yang signifikan, sekarang dan seterusnya. Menjadi orang-orang yang selalu taat dan patuh kepada Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-Nya. Bukankah kemuliaan seseorang itu tergantung pada ketaqwaannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya
artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT adalah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat: 13)
Akan tetapi, fenomena yang kita lihat di masyarakat justru sebaliknya. Syawwal, seakan-akan bulan yang ditunggu-tunggu agar terlepas dari belenggu dan bebas melakukan kegiatan apa saja seperti sediakala. Di antara indikatornya yang sangat jelas, adanya perayaan Idul Fitri dengan pesta atau dengan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, dibukanya kembali tempat-tempat hiburan yang sebulan sebelumnya ditutup. Kemaksiatan seperti itu justru langsung ramai sejak hari pertama bulan Syawwal. Na’udzubillah!
Lalu setelah itu, masjid-masjid akan kembali sepi dari jemaah shalat lima waktu. Lantunan ayat suci Al-Qur’an juga tidak lagi terdengar, yang ada justru umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali membudaya. Bukankah ini semua bertolak belakang dengan arti Syawwal? Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci dengan bersih kembali penuh noda.
Apa yang terjadi sekarang ini juga menunjukkan kepada kita, bahwa ibadah puasa yang dijalankan selama sebulan penuh jelas gagal. Karena tidak mampu mengantarkan seseorang meraih derajat ketakwaan dan mengubah menjadi muslim sejati yang menjadi tujuan utama puasa. Padahal banyak sekali pelajaran berharga yang bisa kita jadikan ukuran seberapa tinggi nilai prestasi ibadah kita. Kata para ulama keberhasilan seseorang di bulan Ramadhan itu diukur dengan amal perbuatannya setelah bulan Ramadhan. Orang yang berhasil mendapat ampunan dan mendapatkan pahala yang besar akan semakin rajin beribadah dan semakin baik akhlaknya. Sebaliknya orang yang tidak mendapatkan ampunan akhlak perbuatannya tidak akan berubah bahkan mengalami kerugian di bulan Ramadhan.
Banyak orang yang mengatakan, ketika kita masuk bulan Syawwal berarti kita menuju kemenangan dalam melawan hawa nafsu. Kita dikatakan kembali suci. Namun, benarkah kita meraih kemenangan tersebut? Benarkah kita kembali suci setelah beribadah puasa sebulan penuh?
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali kepada diri kita, apakah selama bulan Ramadan kita betul-betul tulus dalam beribadah, apakah puasa yang kita jalankan betul-betul atas dasar iman dan semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT? Jika kita tidak demikian, maka kita termasuk orang-orang yang gagal dalam meraih kemenangan bulan Ramadhan.
Di bulan Syawwal ini, marilah kita introspeksi diri dan melakukan evaluasi terhadap nilai amal ibadah, dengan tujuan agar setelah Ramadhan berlalu kita menjadi lebih baik daripada sebelum Ramadan. Alangkah naifnya kita ini, sudah diberi kesempatan di bulan suci yang penuh ampunan dan rahmat, masih saja tidak berubah atau mungkin lebih parah. Hari ini harus lebih baik daripada kemarin. Kegagalan masa lalu harus kita jadikan pelajaran berharga dan tidak akan kita ulangi lagi. Kita harus ingat peringatan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka celakalah ia.”
Kemudian apa yang mesti kita lakukan untuk memulai lembaran baru di bulan Syawal ini?
Berangkat dari kaidah umum dari hadits Nabi SAW tersebut, dan mengingat makna bulan Syawal, maka yang harus kita adalah Istiqomah yaitu menetapi agama Allah SWT dan berjalan lurus di atas ajarannya. Sebagaimana yang di perintahkan Allah SWT di dalam Al Qur’an yang artinya: “Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Hud: 112)
Bentuk Istiqomah dalam amal ibadah adalah dengan mengerjakan secara terus-menerus. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Nabi SAW, bahwa beliau SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah SWT adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit.” (HR Bukhari & Muslim)
Istiqomah berarti berpendirian teguh atas jalan yang lurus. Berpegang pada akidah Islam dan melaksanakan syariat dengan teguh. Tidak mudah goyah dalam keadaan bagaimana pun. Sifat yang mulia ini menjadi tuntutan Islam seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
“Katakanlah (Wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepada Aku bahwa Tuhan kamu hanyalah Tuhan yang satu; maka hendaklah kamu teguh di atas jalan yang betul lurus (yang membawa kepada mencapai keredhaan-Nya).” (QS Fushilat:6)
Istiqomah merupakan daya kekuatan yang diperlukan sepanjang hayat manusia dalam melaksanakan tuntutan Islam, mulai dari amalan hati, amalan lisan dan anggota tubuh badan. Jelasnya, segala amalan yang dapat dirumuskan dalam pengertian ibadah baik fardhu ‘ain atau fardhu kifayah keduanya memerlukan istiqamah. Istiqamah juga merupakan sikap jati diri yang teguh dan tidak berubah oleh pengaruh apapun. Sikap ini akan memotivasi seseorang untuk terus berusaha dalam mencapai kesuksesan di segala bidang. Bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan, penyelidikan, perusahaan perniagaan, dan lain-lain.
Istiqomah dalam meneguhkan iman dan melaksanakan kebajikan akan mendatangkan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang dinyatakan di dalam Al-Qur’an.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah SWT,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga) kamu akan memperoleh apa yang kamu sukai dan apa yang kamu minta. (Semua itu) sebagai karunia (penghormatan bagimu) dari (Allah SWT) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Fussilat: 30-32)
Jika demikian halnya maka amal-amal yang telah kita biasakan di bulan Ramadhan, hendaknya tetap dipertahankan selama bulan Syawwal dan bulan-bulan berikutnya. Membaca Al-Qur’an setiap hari, salat malam yang sebelumnya kita lakukan dengan Tarawih, di bulan Syawwal ini hendaknya kita tidak meninggalkan salat Tahajud dan Witirnya. Infak dan sedekah yang telah kita lakukan juga kita pertahankan.
Demikian pula nilai-nilai keimanan yang tumbuh kuat di bulan Ramadhan. Kita tak takut lapar dan sakit karena kita bergantung pada Allah SWT selama puasa Ramadhan. Kita tidak memerlukan pengawasan siapapun untuk memastikan puasa kita berlangsung tanpa adanya hal yang membatalkan sebab kita yakin akan pengawasan Allah SWT (ma’iyatullah). Kita juga dibiasakan berlaku ikhlas dalam puasa tanpa perlu mengumumkan puasa kita pada siapapun. Nilai keimanan yang meliputi keyakinan, ma’iyatullah, keikhlasan, dan lainnya ini hendaknya tetap ada dalam bulan Syawwal dan seterusnya. Bukan malah menipis kemudian hilang seketika !
Memang tidak banyak amal khusus di bulan Syawwal dibandingkan bulan-bulan lainnya. Akan tetapi, Allah SWT telah memberikan kesempatan berupa satu amal khusus di bulan ini berupa puasa Syawal. Ini juga bisa dimaknai sebagai tolok ukur dalam rangka meningkatkan ibadah dan kualitas diri kita di bulan Syawwal ini. Dan keistimewaan puasa sunnah ini adalah, kita akan diganjar dengan pahala satu tahun jika kita mengerjakan puasa enam hari di bulan ini setelah sebulan penuh kita berpuasa Ramadan.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya artinya: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (HR Muslim)
Bagaimana pelaksanaannya? Apakah puasa Syawwal harus dilakukan secara berurutan atau boleh tidak?
Sayyid Sabiq di dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa menurut pendapat Imam Ahmad, puasa Syawwal boleh dilakukan secara berurutan, boleh pula tidak berurutan. Dan tidak ada keutamaan cara pertama atas cara kedua. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, puasa Syawwal lebih utama dilaksanakan secara berurutan sejak tanggal 2 Syawwal hingga 7 Syawwal. Lebih utama.
Jadi, tidak ada madzhab yang tidak membolehkan puasa Syawwal di hari selain tanggal 2 sampai 7, selama masih di bulan Syawwal. Ini artinya, bagi kita yang belum melaksanakan puasa Syawwal, masih ada kesempatan mengerjakannya. Akan tetapi, hendaknya kita tidak berpuasa khusus di hari Jum’at tanpa mengiringinya di hari Kamis atau Sabtu karena adanya larangan Rasulullah SAW yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani.
Semoga menjadi spirit bagi kita semua untuk lebih meningkatkan mutu ibadah, baik ibadah spiritual maupun ibadah sosial. Kita memohon kepada Allah SWT, semoga keberkahan Ramadhan terus menyertai kita, meskipun kita telah meninggalkannya. Aamiin.