Akhir-akhir ini Perbincangan Penganugerahan Darjah Gelar Kehormatan yang dilakukan oleh Satana Jering Amantubillah atau Lembaga Adat Melayu Jering Bangka Belitung semakin pro dan kontra. Ada yang menyambutnya dan memberikan support serta apresiasi kepada Satana Jering karena telah membawa nama baik Negeri Serumpun Sebalai, namun ada pula yang menganggap apa yang dilakukan Satana Jering sesuatu yang ngaur ngerapek dan mengada-ada. Sejauh mana sih legalitas, sejarah Satana Jering dan Penganugerahan Darjah Kehormatan Adat ini. Berikut wawancara ekskiusif dengan Imam Yang di-Pertua Satana Jering Amantubillah Lembaga Adat Melayu Jering Bangka Belitung, Dato Rdo Sri Pangeran Sardi Ibni Buman Bodin, Minggu, tanggal 21 Agustus 2022.
Assalamu alaikum Dato Apa kabarnya?
Wa alaikum salam. Alhamdulillah baik.
Dato, sepertinya akhir-akhir ini sibuk dan banyak kegiatan?
Iya, alhamdulillah kegiatan selalu padat. Semoga bermanfaat untuk kemaslahatan umat dan negeri ini.
Kegiatan apa saja Dato?
Kegiatan utama dari bulan Mei lalu adalah giat perjuangan Hak Ulayat Negeri. Dari identifikasi keberadaan Hak Ulayat, hingga mengikuti Maklumat Sultan Raja dan Pemangku Adat Nusantara di Jakarta. Dalam rangka memperjuangkan Hak Ulayat ini paling tidak sudah dua kali ke Jakarta. Setelah mengikuti Maklumat, kita juga bersama Sultan Raja dan Pemangku Adat yang difasilitasi Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia audeinsi dengan KSP (Kantor Staf Presiden), dan ini sedang menunggu audeinsi dengan Pak Presiden. Kegiatan lain menghadiri Upacara Penurunan Bendera di Istana Negera, dan Penganugerahan Darjah Gelar Kehormatan Adat kepada KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman.
Wah lumayan padat, tapi tetap sehatkan Dato?
Alhamdulillah, nikmat sehat ini yang utama dan paling kita butuhkan dan alhamdulullah pula kita masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang banyak.
Dato, sekarang lagi viral ni tentang Satana Jering. Sebenarnya Satana Jering ini Kerajaan?
Bukan, Jering bukanlah Kerajaan atapun Kesultanan. Sampai sejauh ini kita belum pernah memproklamirkan kerajaan ataupun kesultanan. Walaupun ada orang-orang menyebutnya kerajaan atau kesultanan. Itu kami anggap sebagai perolokan atau candaan orang-orang saja.
Kami sudah mengadakan penelitian sederhana. Alhasil di sekitar Tanah Tua (lokasi yang disebut-sebut sebagai pusat Kerajaan Jering), tidak ditemukan situs-situs atau prasasti serbagaimana di pusat kerajaan. Hanya saja, di sekitar Tanah Tua yang disebut-sebut sebagai pusat Suku terdapat beberapa gudukan tanah yang terhampar rapid an terdapat sungai yang dinamai Sungai Kute (Sungai Kota. Namun tidak ditemukan tanda-tanda sebuah perkotaan seperti bekas bangunan. Walaupun menurut sejumlah narasumber, bahwa bangunan yang terdapat di Kerajaan Jering menggunakan kayu dan tidak menggunakan bebatuan sehingga ketika sudah ratusan tahun sudah tidak tampak lagi. Kesimpulan Sementara Tim Peneliti Satana Jering, menyimpulkan bahwa Kerajaan Jering tidak ada secara ilmiah. Tim Peneliti Satana Jering menyimpulkan menamakan Wilayah Kecamatan Simpang Teritip dan masyarakat yang memiliki kesamaan bahasa atau logat dan dialek Urang Jering adalah Suku Jering, yang merupakan bagian dari Suku Melayu atau Sub Suku Melayu, Suku Melayu Jering.
Bagaimana sejarah Jering ini Dato, mohon dong jelaskan kepada kita-kita ini.
Jering telah ada ratusan tahun bersamaan dengan terjadinya kelbu (banjir besar, red) yang menenggelamkan Nusantara. Musibah besar itu membuat pasangan Pangeran salah satu kerajaan di daratan Benua Asia (Melayu kuno, red) masuk ke dalam Kelabang Besi (sebuah benda terbuat dari besi yang berbentuk seperti gong, red). Banjir bandang tersebut kemudian membawa sepasang Pangeran Kerajaan Melayu itu ke suatu tempat yang sekarang dinamai Pulau Bangka. Sekarang tempat berjangkarnya sepasang Pangeran itu disebut Tanah Tua oleh orang Jering. Sepasang Pangeran ini kemudian beranak pinak hingga sampai sekarang. Pada waktu terjadinya banjir bandang Pulau Bangka dengan Pulau Sumatera dan Asia Tenggara masih suatu hamparan. (Radendo Buman ibni Budin Buda (81), 1999). Bertahun-tahun lamanya, hingga Tanah Tua menjadi permukiman yang ramai dan berdiri sebuah pemukiman asal hingga pada suatu saat permukiman ini dibumi hangguskan oleh kerajaan zalim dari luar Pulau Bangka.
Dari catatan Asing tentang Jering dan peta lama yang ditemukan, kata Jering adalah wilayah Kadipaten atau Wilayah Kekuasaan/Kerajaan. Yakni tulisan Prof H.C Millies, yang berjudul Recherches sur les monnaies des indigènes di l’Archipel indien et de la Péninsule malaie” yang dipublikasi di Den Haag Tahun 1871, halaman 154. Pada buku tersebut tertulis “…arrondissement dana l’ile de Bangka, ‘eerit Jeering au Djering.” Kata arrondissement (Perancis) bisa diartikan wilayah kadipaten atau wilayah kekuasaan/kerajaan. H.C Millies membandingkan antara Kerajaan Jering Pattani Thailand Selatan dengan Jering di Pulau Bangka. Perbandingan biasanya sesuatu yang sama atau seimbang. Dari tulisan ini, Jering Bangka selevel dengan Jering Pattani, yakni Kerajaan.
“Kerajaan Jering” adalah kerajaan kecil/Kelompok Masyarakat yang membangkang kepada Kedatuan Sriwijaya. Slamet Muljana (2008:160) mengatakan Raja Sriwijaya Dapunta Hyang singgah di Pulau Bangka pada tahun 686 sempat bertempur dengan pasukan pembangkang. Dugaan awal adalah kerajaan yang membangkang dan tidak mau tunduk itu adalah “Kerajaan Jering” atau Suku Jering. Salah satu yang menguatkan keberadaan dan musnahnya Pemukiman Suku Jering adalah dari bunyi sumpah serapah Kedatuan Sriwijaya Dapunta Hyang pada Prasasti Kota Kapur. Sumpah serampah Dapunta Hyang pada prasasti Kota Kapur;……… bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadatuan ini akan ada orang yang memberontak ………., yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya …….
Kata yang tidak takluk pada prasasti tersebut membuktikan bahwa ada kelompok atau kerajaan di Pulau Bangka yang menentang dan tidak mau tunduk kepada Kedatuan Sriwijaya, kerajaan tersebut adalah kelompok yang dinamakan “Kerajaan Jering”. “Kerajaan Jering” adalah yang membangkang kepada Kedatuan Sriwijaya. Karena pembangkangannya “Kerajaan Jering” diserang Kedatuan Sriwijaya yang dipimpin langsung Dapunta Hyang pada tahun 686 Masehi. Pasukan Jering banyak yang tewas dan Pemukiman maupun istana Kerajaan/Suku dibakar, sementara sejumlah bangsawaan termasuk Yang di-Pertua Agung Radindo Sri Aso dan rakyatnya ngacir dan bersembunyi ke Bukit Peret (antara Desa Simpang Gung dan Desa Pelangas Kabupaten Bangka Barat). Sementara Pasukan Kedatuan Sriwijaya berhasil dikecoh dan mengejar kearah timur dan menaklukkan Kerajaan Bangka yang berpusat di Kota Kapur dan membuat prasasti sumpah serapah disana.
Setelah Permukiman diberangus oleh Pasukan Kedatuan Sriwijaya pada Tahun 686, pasukan Radendo Sri Aso bersembunyi dan membuat Perkampungan Hidden di Bukit Peret (awalnya tujuh bubung rumah). Dari abad ke abad perkampungan ini terisolasi sehingga tertinggal dan tidak bisa berkembang. Kehidupan tertutup ini berlangsung berabad-abad hingga kekuasaan Kedatuan Sriwijaya dihancurkan Kerajaan Majapahit Tahun 1377. Dimasa Majapahit, Perkampungan Trah Jering, Jering Bukit Peret atau dengan istilah Jering Pacor ini tetap saja tertutup (sehingga terkenal dengan istilah Pacor Penyelek) dan tidak tunduk dengan Kerajaan atau Kesultanan manapun. Demikian pula pada masa Kerajaan Palembang (1455-1659) dan Kesultanan Palembang Darussalam (1659- 1823), Pemimpin Jering tidak tunduk dengan Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam maupun pimpinan colonial, Inggris hingga Jepang (yang berkuasa hingga 1945) yang menguasai Pulau Bangka.
Perintah Sultan Susuhunan Ahmad Najamudin (berkuasa 1758-1776) agar setiap pria yang sudah beristri memberikan Upeti atau Timah Tiban (sekitar 30 kg/tahun) sebagaimana tertuang pada Undang-undang Sidang Merdeka ditolak oleh pimpinan Jering. Pemimpin Jering pada masa itu, Radendo Ismail (Mael) hingga kepada Pemerintahan Radendo Cing secara terang-teragan menolak dan tetap tidak tunduk dengan kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Gerakan penolakan dan penghindaran kepada penguasaan Kesultanan Palembag Darussalam semakin tinggi ketika kebijakan kesultanan yang memonopoli semua line perekonomian di Bangka. Terlebih dengan kebijakan Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Muhammad Badaruddin (memerintah pada tahun 1776-1803), yang mendatangkan pekerja-pekerja dari Cina untuk menambang timah di Pulau Bangka. Keputusan penolakan ini berakibat dengan terbunuhnya pimpinan Jering Radendo Cing dan ditangkapnya salah seorang Panglima Jering, yakni Radendo Selapu. Yang akhirnya Panglima Selapu dihukum pancung. Peristiwa ini terjadi sekitar Tahun 1800-an. (Buman Bodin, 1995). Kepemimpinan Jering kemudian dilanjutkan oleh salah seorang Putra Mahkota Jering, Radendo Adung yang saat itu baru berusia 25 tahun (Buman Bodin, 1995).
Awalnya, Radendo Adung mengikuti jejak Bak dan pemimpin Jering sebelumnya, tetap menolak dan tidak bersedia tunduk kepada Pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Namun atas desakan berbagai pihak, juga karena faktor usia dan kemampuan kadigdayaan masih belum mumpuni, Jering menyatakan dibawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Radendo Adung diangkat sebagai Jeneng yang berkuasa di Tanah Ayek Jering dan diakhir masa jabatannya sebagai Batin Pesirah yang membawahi kebatinan-kebatinan dalam wilayah Tanah Ayek Jering.
Orang Jering mendukung dan berjuang bersama Sultan Palembang mengusir penjajajan kolonial hingga Kesultanan Palembang Darussalam kalah perang dengan Belanda dan Vakum tanggal 7 Oktober 1823.
Bersamaan dengan Pemerintah Kolonial memaksa agar penduduk yang bertempat tinggal berjauhan dan terisolasi untuk mendirikan rumah atau perkampungan disepanjang jalan raya yang dibangun. Akhirnya Radendo Adung atau Dong dengan petunjuk Yang Maha Kuasa melalui arahan Penguasa Bukit Penyabung Priwulan (setelah ritual adat), hijrah dan mendirikan perkampungan di Tanjung (sekitar 3 kilometer sebelah barat dari perkampungan Pelangas sekarang) dengan Nama Plangas.
Pada masanya, Radendo Adung salah satu pemimpin pribumi yang cukup disegani oleh pribumi dan ditakuti Kolonial. Radendo Adung adalah salah seorang Panglima Tujuh yang menguasai dan ditakuti di Pulau Bangka (AA Bakar, Bahrin Amir Tikal, Pemda Bangka, 1995, hal 19). Sementara disisi lain, Pemerintah Kolonial Belanda mengangkat orang kepercayaannya untuk mengendalikan Jering dengan menetapkan Jering sebagai Distrik. Hal ini sebagaimana tulisan Thomas Horslfield (1848:384) tentang deskripsi geografis Pulau Bangka Report on the Island or Banka dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Thoomas menyebut jika Dshering (Jering) adalah districts. “….and the districts of Marawang and Pangkalpinang in the east, the former is subdivided into the smaller districts of Pungur, Dshering, Suk-kouw, Ketéppe and Empang…”. Kepemimpinan Kedistrikan yang dibentuk Kolonial Belanda tidak sama dengan Kepemimpinan Jering, Trah Jering Radendo Adung tetap memimpin rakyat walaupun secara tersembunyi hingga wafatnya. Radendo Adung wafat tidak lama setelah mendirikan perkampungan Plangas.
Dengan wafatnya Radendo Adung, kepemimpinan Tanah Ayek Jering dipimpin putranya, Radendo Rawan bin Adung. Dekade ini banyak perkampungan yang lahir. Hal ini bisa dilihat pada Peta Kaart Van Het eiland Banka 1885 diseputaran wilayah Jering yang pada Peta Het Ealen Banka 1812dan 1819 tidak terdapat perkampungan, muncul perkampungan diantaranya Limau, Majang, Plangas, Pangeh, Pradong, Ajer Tretep, Brang, Hiboel, Kepajang, Koera, dan Pangkal Djering. Demikian pula dengan posisi jalan raya ada perbedaan antara peta Tahun 1812 dan Peta 1885. Keberadaan peta ini kemudian diikuti dengan penetapan kebatinan di Bangka. Staatblad no.129 tanggal 16 Desember 1887, yang ditandatangani algemeene secretaries pamekoek, tentang pembentukan kebatinan-kebatinan di Pulau Bangka, menetapkan Distrik Mentok terdiri dari kebatinan Mentok, Kebatinan Plangas, Kebatinan Kadiale (Tempilang) dan kebatinan Ampang (Kelapa). Pelangas sebagai Kebatinan Pesirah atau Onderdistricten yang membawahi beberapa kebatinan pegadang (Batin Kampung) yang berada di seputaran wilayah Jering sebelumnya. Hal ini bisa dilihat pada peta Administratieve Indeeling Van De Distrikten Der Residentie Bangka Tahun 1889, bahwa wilayah Pelangas meliputi hingga Sungai Soekal, Tandjoeng Njiyoer, dan Sungai Kampa.
Setelah Radendo Rawan bin Adung wafat, kepemimpinan Pacor Jering Plangas berpindah kepada putra mahkota yang bernama Radendo Ali Hamzah atau Akek Bok yang berkuasa hingga tahun 1957. Pada dekade ini Plangas sebagai penguasa Jering hanya tinggal kenangan. Sistem pemerintahan berubah, Plangas yang tadinya sebagai Kebatinan Pesirah berubah status menjadi Gegading. Selain administrasi kependudukan, pada akhir kepemimpinannya kedaulatan adat istiadatpun mulai tergerus. Beberapa wilayah yang biasanya memberikan upeti berupa hasil panen dan hasil berburu tidak lagi didapatkan. Tidak hanya itu, sumbangan untuk kegiatan adat (pada ritual gunung) tidak lagi diberikan oleh warga kegadingan sekitar Pelangas.
Namun demikian yang menjadi kebanggaan Orang Pelangas, pada tahun 1951 pernah dikunjungi Presiden Republik Indonesia ke 1, Ir Soekarno dan diberikan selembar bendera Merah Putih berukuran 2 x 3 meter (Masih dalam penelitian kebenarannya) sebagai bentuk ajakan kebersamaan membangun negeri. Ini pula sebagai bentuk nyata jika trah “Kerajaan Jering atau Suku Jering” mengakui dan bersama dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan wafatnya Radendo Ali Hamzah maka kekuasaan dan kedaulatan “Trah Jering” atau Suku Jering berakhir dan sistem kepemerintahanpun sudah dibawah kendali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ramli bin Ali Hamzah diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Lurah Pelangas pertama mengantikan kepemimpinan baknya Radendo Ali Hamzah bin Rawan. Radendo Ramli berkuasa sejak Tahun 1957 sampai Tahun 1962. Pada masa ini kekuasaan Pelangas semakin tergerus, Kundi yang sebelumnya bagian dari kekuasaan Pelangas memisahkan diri dan menjadi kelurahan sendiri. Sistim kepemerintahan mengacu kepada regulasi Negara dan Pelangas dari masa ke masa mengikuti sistem tersebut. Tercatat pemimpin Pelangas pada masa Pemerintahan Republik Indonesia, adalah Lurah Husen bin Ali (1962 M – 1968 M), Lurah Muhammad Nur Syamhir bin Resad (1968 M – 1975 M), Lurah/Kades Hamzan bin Said (1976 M – 1984 M), Kades Akhmad Betty (1985 M – 1994 M), Kades Sapiran bin Salihun (1995 M- 2003 M), Kades Baharudin (2003-2008), Kades Welly Wahyudi (2009-2015, Pj Kades Fahri (2015-2016), dan Kades Welly Wahyudi (2016-2022).
Wah ini sudah seperti buku Dato, Nah sekarang bagaimana ceritanya ada Satana Jering?
Satana adalah sebutan rumah yang digunakan untuk tempat hunian tokoh adat Jering. Satana salah satu representasi kebudayaan paling tinggi Urang Jering. Kekinian Satana adalah sebutan Sekretariat Lembaga Adat Melayu Jering Bangka Belitung. Satana ini diberi nama Amantubillah, bahwa pelestarian adat budaya tidak bertentangan atau merusak keimanan kepada Allah SWT. Satana Jering didirikan dan Peletakan Batu Pertamanya Bersamaan dengan Ritual Adat Jering pada tanggal 7 Desember 2011 oleh Gubernur Kep. Bangka Belitung Datuk Maharaja Laela Haji Eko Maulana Ali yang juga selaku Imam Kesukuan Jering, Kapolda Bangka Belitung Irjen M Rum Murkal, dan Bupati Bangka Barat Ust Zuhri yang disaksikan ribuan masyarakat Jering dan sekitarnya.
Dalam menjalankan aktivitasnya, LAM Jering yang kemudian bernama Satana Jering Amantubillah menetapkan organ lembaga untuk menjalankan visi dan misi, yakni Perangkat Adat Setia (Dewan Tunjuk Ajar, Dewan Pegawi Tahmelilah, dan Dewan Kejenengan Sindang Merdeka.
Untuk Lembaga Adatnya bagaimana dan kapan dibentuknya Dato?
Orang Jering hingga tahun 2000 masih menjadi komunitas termajinalkan, bahkan setiap kali ke Mentok pasti direndahkan dan “terhina”. Guna mencapai cita-cita menjadikan Jering sebagai Komunitas atau Suku yang Berperadaban Mulia itu, saya bersama sejumlah pemuda pada Tahun 1999 mendirikan Forum Cinta Alam dan Budaya (Forcab). Pada Tahun 2002, bersama pemuda trah Jering dan tokoh adat, diantaranya M Firdaus, M Fauzan, Asorin, Radendo Yasin Mirip, dan sejumlah lainnya mengadakan musyawarah yang bertempat di SDN 105 Pelangas, kala itu Forcab melebur dengan organisasi baru yang dibentuk, yakni Persatuan Pemuda Jering Indonesia (Perdaji) yang kemudian atas usulan Tokoh Masyarakat Radendo Suparman M Jani dan Radendo Yasin Mirif menjadi Persatuan Masyarakat Jering Indonesia (Permaji). Gairah, dan semangat pelestarian adat budaya semakin menggelora ketika saya diundang menjadi salah satu narasumber pada Rapat Kerja Lembaga Adat Negeri Serumpun Sebalai dengan tema “Mengangkat Kembali Jatidiri Melayu Bangka Belitung” yang diselenggarakan Lembaga Adat Negeri Serumpun Sebalai Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 31 Juli 2004 bertepatan dengan tanggal 13 Jumadil Akhir 1425 Hijriah di Hotel Bumi Asih Pangkalpinang. Saya pada kesempatan pertama menjadi narasumber tingkat provinsi memaparkan makalah yang berjudul Tanah Ayek Melayu Jering Bangka Belitung. Paparan ini menjadi perhatian para peserta dan tokoh adat, seperti H Romawi Latif, Suhaimi Sulaiman, Welly Suhaili, H Emron Pangkapi, Eddy Jajang JA, hingga seorang Proffesor yang sengaja diundang dari LAM Riau yang juga Akademisi Universitas Riau, Prof Dr Yusmar Yusuf, S.Psi yang menjadi narasumber waktu itu. Lantas sang professor menghubungkan kajiannya tentang Suku Jering. Alhasil, sejumlah tokoh yang hadir merekomendasikan agar Jering membentuk Lembaga Adat Melayu Jering.
Sepulang dari menghadiri seminar itu, tepatnya tanggal 8 Agustus 2004 bertepatan dengan tanggal 21 Jumadil Akhir 1425 Hijriah, saya bersama tokoh adat trah Jering, yakni Radendo Yasin Mirip (almarhum), Radendo Muhammad Fauzan, Radendo Asorin, Radendo Sahim Jakse, Radendo Tumu dan sejumlah lainnya mendirikan Lembaga Adat Melayu Jering Bangka Belitung. Musyawarah berhasil menyusun kepengurusan adalah sebagai berikut; Selaku Penasehat/Pemangku Adat Kerapatan Adat adalah H Eko Maulana Ali, Rdo Yasin Mirif, Edi Jajang Jaya Atmaja, Datuk Ibnu Hajar, Datuk H Emron Pangkapi, Rdo Sahim Jakse, Rdo Efendi Harun dan Paksu Jang. Dengan pengurus harian; selaku Imam Radendo Sardi Ibni Buman, Naib Imam Radendo Asorin, Sikritir ‘Ama Radendo Tumu, Naib Sikritir Radendo Jarono, Aminat Sunduq Radendo M Fauzan. Lembaga tersebut kemudian dikukuhkan dengan pukulan ketawak oleh Pemangku Adat Lembaga Adat Negeri Serumpun Sebalai, Datuk Sri H Romawi Latif, Rabu, 13 Oktober 2004 bertepatan dengan tanggal 28 Sya’ban 1425 Hijriah.
Pada acara dalam rangka perayaan Ruwahan tersebut, Pendiri yang sekaligus Imam Lembaga Adat Melayu Jering Radendo Sardi Ibni Buman Bodin yang pertama kali menganugerahkan gelar adat Radendo kepada Tokoh Adat Bangka Belitung, Radendo Datuk Sri H Romawi Latif, Radendo H Ramli Sutanegara dan Radendo Ibnu Hajar dan mendaulat Radendo H Eko Maulana Ali sebagai Imam Yang di-Pertua Suku Melayu Jering pertama.
Sejauhmana legalitas dan pengakuan LAM Jering ini Dato?
Awalnya Lembaga Adat Melayu Jering Ini berdiri dibawah Yayasan Rumpun Melayu Bangka Belitung melalui Akta Notaris Akmal, SH. Nomor 06 Tahun 2008 dengan Kep. Menkum Dan Ham RI Nomor: AHU-3075.AH.01.02 Tahun 2008. Kemudian pada Tahun 2010 dengan Akta tersendiri melalui Akta Notaris Mary Mayasari, SH., M.Kn No 14 tanggal 26 Mei 2010 dengan SKT Nomor 220/07/1.19.02/2010 yang ditanda-tangani Kepala Kesbangpol Limas Bangka Barat Achmad Yulizar tanggal 4 Juni 2010 diperpanjang dengan SKT Nomor 220/227/1.19.03/2016 yang ditanda-tangani Bupati Bangka Barat H Parhan Ali tanggal 31 Maret 2016. Kemudian Pada Musyawarah Adat, tanggal 20 Mei 2022 penyesuaian nama lembaga menjadi Majelis Kerapatan Adat Suku Melayu Jering Bangka Belitung, Satana Jering Amantubillah dengan Nomor Pesan Nama di Dirjen AHU Kemenkumham RI 20220608175915603447, Tanggal 8 Juni 2022 dengan Tanggal Kadaluarsa tanggal 7 Agustus 2022 yang dipesan Notaris Hj Dwi Aryani, S.H., M.Kn.
Selain pemukulan ketawak pertanda dikukuhkannya Lembaga Adat Melayu Jering Bangka Belitung oleh Pemangku Adat Lembaga Adat Negeri Serumpun Sebalai Datuk Sri H Romawi Latif pada tanggal 13 Oktober 2004, pengakuan juga diberikan Lembaga Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai era Kepemimpinan Dato Sri Dr (HC) Ibnu Hajar melalui SK Nomor 7/SK/LAM-BABEL/XII/2013 tanggal 2 Desember 2013.
Selain itu Sultan Palembang Darussalam melalui Surat Keputusan Nomor KPD/Maklumat/KBS/21/XII/2019, tanggal 20 Desember 2019 yang dibacakan Dato Pangeran H Dani pada Ritual Adat Jering tanggal 21 Desember 2019 menyatakan bahwa Pimpinan dan Lembaga Adat Melayu Jering Bangka Belitung diakui sebagai Kerabat Kesultanan Palembang Darussalam.
Tidak hanya itu, Lembaga Tinggi Masyarakat Adat Republik Indonesia juga mengakui keberadaan Lembaga Adat Melayu Jering melalui Surat Keputusan Nomor : 026 /DPP-LEMTARI/X/2020 tanggal 01 Oktober 2020.
Ada prestasi Dato?
Ada. LAM Jering pernah mendapat penghargaan dan Juara 1 Pembauran Kebangsaan Tingkat Kabupaten Bangka Barat 17 Agustus 2016 dan sebagai Pemenang Kedua Pembauran Kebangsaan Kategori Organisasi Kemasyarakatan Tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 18 Agustus 2016. Serta penghargaan dari sejumlah Kerajaan dan Kesultanan serta lembaga kebudayaan Nasional dan Internasional.
Cukup menarik Dato, nah sekarang Randendo itu gelar apa?
Radendo itu adalah gelar, gelar trah. Dulu pemimpin dan keturunan/trah Jering menggunakan panggilan Radendo. Dari bak nek akek dan moyang dulu menggunakan panggilan Radendo. Radendo berasal dari dua kata yakni ra dan dendo. Kata ra adalah awalan untuk menghormat. Ra juga berarti mulia, awalan ra biasa ditempatkan di depan kata benda yang menunjuk kategori orang-orang dari derajat terhormat dan mulia atau orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang berderajat lebih tinggi, seperti: raja, raden (dari rahadyan), raka (ra-kaka), rama (ra-ama), rayi (ra-ayi), ratu (ra-tu), dan rahayu (ra-ahayu). Sedangkan kata dendo bermakna kesayangan. Jadi Radendo adalah anak atau orang kesayangan yang memperoleh kemuliaan dan terhormat. Awalnya gelar Radendo ini hanya untuk keluarga atau trah Jering, namun bersamaan dengan perkembangan zaman gelar ini dianugerahkan kepada orang diluar trah/keluarga yang dianggap berjasa untuk negeri.
Gelar ini mulai terekspost dan dianugerahkan kepada orang diluar keluarga atau trah adalah dianugerahkan kepada H Eko Maulana Ali, H Ramli Sutenegara, H Romawi Latif, dan Ibnu Hjar pada tanggal 13 Oktober 2004. Jujur awalnya bak saya tidak mengizinkan gelar ini terekspost karena pada zaman kerajaan Palembang dan Belanda orang yang menggunakan gelar ini ditangkap. Jadi awalnya keluargapun tidak menggunakan gelar ini karena takut. Namun akhirnya bak mengizinkan penggunaan gelar ini.
Dato, sebetulnya apa saja sih pelestarian adat yang digelar, Kesannya hanya penganugerahan gelar adat?
Ha ha ha ha, ini artinya anda tidak pernah mengikuti giat kami. Sejumlah kegiatan pelestarian adat istadat negeri yang rutin dilaksanakan Lembaga Adat Melayu Jering (Majelis Kerapatan Adat Suku Melayu Jering Satana Jering Amantubillah), adalah: (1) Fasilitasi pembentukan dan pembinaan Lembaga Adat Desa dilaksanakan sesuai regulasi yang ada, Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri No 18 Tahun 2018 tentang LKD dan LAD dan Perda No 4 Tahun 2013 tentang Kebudayaan Bangka Barat. Dari 13 Desa di Kecamatan Simpang Teritip telah terbentuk sebanyak 12 LAD. (2) Perjuangan Pengembalian Hak Ulayat. Ratusan hektar hutan dalam wilayah Tanah Ayek Jering diperjuangkan menjadi tanah adat yang akan dimanfaatkan masyarakat adat untuk kesejahteraan masyarakat. Usaha besar ini diperjuangkan melalui Maklumat Raja Sultan Datu Penglingsir Kepala Suku dan Pemangku Adat Seluruh Indonesia yang digelar LKPASI (Lembaga Komukasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia) di Grand Cempaka Business Hotel, Kawasan Jakarta Pusat, pada tanggal 19 sampai 20 Mei 2022 yang bertempat
Landasan perjuangan bersama Raja Sultan Datu Penglingsir Kepala Suku dan Pemangku Adat Seluruh Indonesia adalah menagih janji Presiden RI Joko Widodo kepada Sultan Raja di Tahun 2018 lalu dan sesuai PP Nomor 18 Tahun 2021. Perjuangan ini masih berlanjut dengan mendatangi KSP dan Tim Nawacita, 25 Juli 2022. Pelaksanaan perjuangan ini kemudian di MoU kan dengan pihak LKPASI. (3) Pembinaan Ritual Adat Desa. Di Tanah Ayek Jering terdapat sejumlah pelestarian adat istiadat negeri, diantaranya sedekah kampong Kundi Bersatu, Sedekah Simpang Tiga, Sedekah Rajek, Sedekah Beler, Ceriak Bumi, Ceriak Tanjung, Rebo Kasan Teritip, Muang Jong Keranji dan Kegunong Pelangas. Pelestarian adat tersebut bagian dari pembinaan.
(4) Melaksanakan Ritual Adat Satana. Disamping melaksanakan pembinaan kepada sejumlah Ritual Adat di Tanah Ayek Jering, Satana Jering melaksanakan pelestarian rutin di Satana, yakni: Ritual Adat Jering yang dilaksanakan di Sata Jering setiap tanggal 23 Rabiul Awal setiap tahun, Ruwah di Satana Jering setiap Bulan Sakban setiap tahun, Ziarah Keramat Keluyot setiap tanggal 2 Zulhijjah di Keramat Keyulot, dan Sure di Satana Jering setiap 11 Muharram setiap tahun
(5) Merajut Silaturahmi dengan Kesultanan Kerajaan Nusantara. Dalam rangka promosi dan lestarikan budaya negeri, Saya merajut persahabatan dan silaturahmi dengan berbagai lembaga international, diantaranya dengan Kingdom of Bruneian I melalui DYMM Sultan Abdul Momin III, Kesultanan Mindanao Darussalam Philipina melalui Maharanee Permaisuri Mindanao Darussalam, Descendants of The Pangiran Al-Sharif Brunei Royal Family And The Sungai Tulen Empire melalui Pangiran Al-Sharif Matsul, dan King of Puri Aprica melalui HRH Buhari Isah. Serta menunjuk ambassador untuk mempromosikan adat budaya Jering, seperti di India menunjuk Dr Hrushikesh Acharca, di Philippina menunjuk Prof Dr Mario C Lucero dan Dr Emmanuel, di Croasia menunjuk Prof. Dr Ivan Gracina, dan di Aprica menunjuk Prof. Dr Buhari Isah. Saya juga merajut hubungan di dalam negeri. Sejumlah Kerajaan, kesultanan, kedaton dan lembaga adat, seperti Kesultanan Palembang Darussalam melalui Sultan Mahmud Badaruddin IV, RM Fawa’az Diraja, Kerajaan Samu Samu melalui PYM Benny Ahmad Samu Samu, Kesultanan Banten melalui Raden Dedy, Kerajaan Tallo melalui PYM Sultan Aliyah, Kedatuan Angung Lampung melalui PYM Seghayo, Kerajaan Kulisusu melalui PYM Raja La Ode, Kerajaan Panuturi melalui YM Jonner Raja Agung, Kerajaan Padang Delli Sumut melalui YM Khuzamri dan Datuk Bentara Juanda, Kerajaan Koeboe melalui YM Pangeran Mangkubumi Syarif Ibrahim Al Idrus, Kedaton Tembong Agung Sumedang Larang melalui YM Nyimas Ayu Mayangsari, Keratuan Jayakarta melalui Pangeran Abi Almadani, Kerajaan Buton melalui YM Ratu Dewi Endang, Kerajaan Buleleng Bali melalui Pelingsing Anak Agung Ugrasena, Kerajaan Mempawah melalui Ratu Arini, Kepangeranan Patani Mempawah YM HRH Ali Chandra Wibowo, Santana Kesultanan Cirebon melalui Png R Heru Arianatareja, Kesultanan Aceh Darussalam melalui Sultan Saifullah, Kedaton Agung Pajajaran Tasik Malaya melalui YM Drs Rd H Sani Wijaya Nata Kusumah, SH, dan Kerajaan Tambang Tarantang melalui Dato Muhammad Nur, SE.
Dan Alhamdulillah hasil dari persahabatan dengan berbagai pihak, pada tanggal 17 Agstus tadi diundang ke Istana bersama Raja Sultan dan Pemangku Adat. Alhamdulillah lagi kita bisa duduk satu panggung dengan Pak Presiden atau di VIP.
Dato, ini yang terakhir. Apakah Dato termasuk keturunan Jering?
Saya orang Jering Asli. Dari sebelah bak berasal dari keturunan atau Trah Jering Melalui Radendo Cing (Pemimpin Terakhir Suku Melayu Jering Pacor Bukit Peret) dan Pengiat Adat Istiadat Suku Jering secara turun temurun. Sementara dari sebelah mak berasal dari trah Panglima dan keturunan dukun yang menguasai kadigdayaan yang maha dahsyat sebagai penjaga Tanah Ayek Jering. Dengan silsilah lurus Radendo Sardi (Sarbon Alpangabi, nama lahir) Ibni Radendo Buman Ibni Radendo Bodin Ibni Radendo Buda Ibni Radendo Calik Ibni Radendo Cik (Radendo Cik merupakah salah seorang Panglima Jering pada masa Kepemimpinan Radendo Adung, (Radendo Sardi Ibni Radendo Buman Ibni Radendo Bodin Binti Cik Radendo Bunga Ibni Radendo Butuk Ibni Radendo Cangguk Ibni Radendo Cing). Radendo Cing adalah Pimpinan Jering Pacor Bukit Peret terakhir yang juga merupakan bak dari Radendo Adung yang menjadi pendiri dan Pimpinan Pelangas yang merupakan trah Jering.
Orang tua dan trah Dato Pengeran Sardi Ibni Buman, melalui jalur bak adalah trah pimpinan Jering Pacor dan Pegiat atau Pelestari Adat Istiadat Jering di Pengabun (sekarang perkampungan ini sudah tidak ada) seperti Ritual Adat Ngerabun Pusaka dan Upacara Ziarah Keramat Syekh Abdullah. Kegiatan Ritual Adat Ngerabun Pusaka sampai saat ini masih dilestarikan di Satana Jering setiap Bulan Maulid (dengan sebutan Maulid Agung Ritual Adat Jering). Sementara melalui jalur ibu sebagai trah panglima dan pegiat adat di seputaran Berang dan Simpang Tiga.
Baik Dato, Terima kasih atas semua informasinya. Semoga ini semua menjadi pencerahan untuk semua. Serta tidak ada lagi yang candain Dato Raja atau Sultan. Semuanya jelas dan terang benderang. Sekali lagi terima kasih Dato. (AA)